Hidup merupakan dialektika. Mungkin ini adalah pernyataan yang tepat sebagai jembatan konsepsi sebelum memasuki esensi tulisan ini. Kenapa demikian, sebab dialektika di sini berperan sangat substansial dalam pemaknaan kehidupan oleh setiap individu. Dialektika yang bersifat korelatif maupun kontradiktif ini menjadi instrumen terbaik untuk mengenal realitas yang ada di sekitar kita.
Kendati begitu, tulisan ini akan membatasi pembahasan pada dua bentuk kepribadian dominan yang menjadi reaksi dialektika yang terjadi pada dimensi internal (psike) manusia. Kepribadian tersebut adalah melankolia (melancholia) dan narsisme (narcissism) yang lebih lanjut akan diterangkan di bawah ini.
Melankolia
Freud membedakan melankolia dengan duka (mourning) dalam tulisannya yang berjudul “Mourning and Melancholia”, di mana duka adalah rasa kehilangan akan suatu objek yang dicintai (dan diharapkan) secara natural. Kehilangan ini bereaksi dalam kurun waktu tertentu saja pada setiap orang (Freud, 2007:38). Rasa duka ini akan hilang dengan sendirinya secara alami, ketika seseorang telah mampu menggantikan objek yang telah hilang tersebut dengan objek yang baru.
Melankolia memiliki kesamaan dengan duka tentang rasa kehilangan akan sesuatu yang dicintai yang diselingi harapan yang pupus. Meski begitu, melankolia tidak memiliki durasi tertentu untuk menyembuhkan luka yang disebabkan oleh kehilangan. Secara tegas, Freud memberi konsep pada melankolia sebagai luka yang tidak dapat disembuhkan yang melebur pada ego (arena kontestasi id dan superego) seseorang.
Setiap individu seharusnya dan hakikatnya menginvestasikan hasratnya atau ego libido (terma Freud) pada objek libido untuk bertahan dalam kehidupan sehari-hari. Obek libido ini bisa dimisalkan cinta pada kekasih, orang tua, keluarga, benda kesayangan dan sebagainya. Tragisnya, individu-individu yang telah kehilangan akan objek yang dicintainya dan kemudian gagal untuk mengganti atau menginvestasikan objek yang dicintainya tersebut (move on) dengan objek yang baru akan mengalami keterputusasaan yang berlarut-larut dan membentuk luka psikis yang dalam. Mereka ini bisa disebut sebagai para penderita melankolia.
Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh melankolia pula berbeda dengan duka. Seseorang yang sedang berkabung karena kehilangan akan sesuatu akan memiliki persepsi tentang dunia yang gersang dan tak berarti lagi pasca ditempa sensasi kehilangan. Seseorang dengan melankolia cenderung memiliki sifat pesimis, berdosa dan membenci diri, cenderung mengasingkan diri dari realitas sosial.
Bahkan parahnya, penderita melankolia memiliki niat untuk bunuh diri. Hadirnya melankolia telah membagi diri menjadi dua bagian integral, yakni subjek murni dan subjek yang kehilangan. Dua bagian dari diri ini akan selalu berkontestasi dalam diri, di mana satu ketika subjek yang kehilangan dapat mengutuk subjek murni, sehingga sensasi nestapa yang menjadi konsekuensi dari melankolia ini bisa datang kapan saja. Singkatnya, melankolia ini adalah kepedihan akut atau menahun dan telah melebur dalam diri seseorang yang bisa menjadi pemicu sifat pesimisme yang absolute dalam diri.
Kendati demikian, melankolia tidak selalu akrab dengan reaksi negatif. Jika direflesikan dengan bijak, melankolia bisa menjadi alat bagi tiap orang untuk menjadi mawas diri. Depresi, kepedihan dan kutukan pada diri sendiri yang dilatarbelakangi kekurangan yang dimiliki oleh diri adalah manifestasi refleksi yang mendalam pada diri sendiri. Oleh sebab itu bukan tidak mungkin, melankolia justru bisa menjadi jalur yang efektif dan instan untuk menemukan esensi diri manusia.
Narsisme
Sementara itu, narsisme adalah sensasi atau perasaan yang sangat berkebalikan dengan melankoli di mana narsisme, menurut Freud, adalah sebuah kecenderungan perasaan cinta yang berlebihan pada diri (Alwisol, 2011: 19). Narsisme adalah kecenderungan ego libido pada self (diri) yang kemudian menjadikan diri sendiri sebagai lambang atau standarisasi kesempurnaan dan penilaian pada realitas yang ada di sekitarnya. Narsisme memperlakukan self sebagai objek seksualitas. Dengan demikian, kepribadian yang narsisme mencipta diri yang egosentris dan mementingkan kepentingan diri sendiri.
Freud (dalam Holmes, Segal, & Kennedy, 2009) membagi narsisme menjadi dua, yakni; pertama, narsisme primer adalah fase perkembangan moral yang yang terjadi pada waktu bayi mulai memiliki ketertarikan pada suatu objek; kedua, narsisme sekunder merupakan kecenderungan individu melihat dirinya sebagai objek yang dicintai.
Orang-orang yang narsistik sendiri dapat diketahui dari beberapa karakter yang dominan, di antaranya adalah memiliki kebanggaan dan keyakinan pada diri sendiri, kebutuhan akan pujian yang over, membesar-besarkan prestasi diri, berharap akan dihujani pujian dan mengharapkan orang lain melihat kualitas khusus pada pribadi sendiri, meski memiliki capaian prestasi yang normatif standar seperti orang pada umumnya, self-absorbed atau egosentris dan minim empati pada orang lain (Nevid, J, Rathus, S. & Greene B, 2005: 283).
Narsisme dengan segala kelemahannya merupakan kepribadian yang merugikan bagi individu, kendati begitu sifat narsisme sendiri seharusnya wajib dimiliki setiap orang dengan takaran yang proporsional tentunya. Sebab, jika dipandang dalam perspektif positif, narsisme juga menjadi jalan untuk mencintai diri sendiri bagi yang memiliki rasa percaya diri (confidence).
Baik melankolia, maupun narsisme pada umumnya adalah dua unsur yang negatif pada takaran extreme. Kendati begitu, kedua karakter ini juga memiliki manfaat bagi tiap individu dalam menghadapi realitas ataupun formasi sosial yang ada di sekitarnya, karena keduanya bisa menjadi “obat penawar” bagi penderita mawas diri dan percaya diri (self-confidence) yang berlebihan. Dengan demikian, individu yang bijak harusnya bisa mengontrol proporsi unsur-unsur melankolia ataupun narsisme. Dialektika keduanya yang proporsional pada diri bisa menciptakan kepribadian yang ideal bagi tiap manusia.
Penulis: Sudju (Anggota redaksi mediakini.com)
Daftar Pustaka
Alwisol. (2011). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Freud, Sigmund. (2007). On Freud’s “Mourning and Melancholia”. Series Editor: Leticia Glocer Fiorini. London: The International Psychoanalytical Association.
Holmes, J., Segal, J., & Kennedy. (2009). Narsisme, Fantasi dan Libido: Pengantar Umum Psikoanalisis; A General Introduction to Psichoanalysis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nevid, J. S., Rathus S. A & Greene B. (2005). Psikologi abnormal. Jakarta: Erlangga.