Hari ini, rasanya kita tak henti membicarakan kemajuan teknologi dan revolusi industri. Dari waktu ke waktu, kita terpukau dengan kemajuan peradaban, kebermanfaatan teknologi yang ada, dan adaptasi manusia dengan zaman yang sedang dijalani. Sekarang, kita sedang berada di era industri 4.0, era manusia terhubung dengan internet untuk berkomunikasi dan bertukar informasi.
Kemudian, kini kita juga sedang diajak untuk memikirkan masyarakat masa depan dengan konsep society 5.0, konsep yang menawarkan kehidupan praktis dan nyaman bagi manusia. Dengan begitu, pada era industri 4.0 dan society 5.0 ini, manusia sangat dimudahkan dan mungkin dimanjakan dengan hadirnya integrasi antara internet dan robot. Sehingga pekerjaan manusia dapat digantikan oleh robot secara otomatis dan tersistem melalui digital system.
Realisasi era industri 4.0 di Indonesia saya pikir sudah sangat berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian masyarakat Indonesia telah memiliki smartphone. Dan sebagian warga Indonesia telah mengenal dan dapat memanfaatkan keberadaan internet untuk berkomunikasi dan bertukar informasi. Untuk menuju masyarakat masa depan, society 5.0, saya kira, kita harus agak lebih bersabar dibanding negara-negara maju.
Namun, hal ini bukan kemustahilan. Bahkan, dengan kemajuan teknologi dan persaingan global, konsep society 5.0 bisa saja lebih cepat dari perkiraan kita. Kemudian, pertanyaannya bagaimana manusia, khususnya masyarakat Indonesia mesti menyikapi dan menyambut era society 5.0 ini? Kemudian bagaimana dampaknya pada nilai-nilai kearifan lokal dan kebudayaan bagi masyarakat Indonesia ketika kita sudah sampai di era society 5.0? Penulis akan coba merekomendasikan jawaban-jawaban pertanyaan berikut di bawah ini.
Kemajuan Teknologi dan Easy Life
Kemajuan teknologi di era ini menawarkan kehidupan yang mudah (easy life) bagi manusia. Setiap orang hari bisa memperoleh informasi dengan mudah. Semua hal, pelajaran, berita, hiburan, komunikasi, waktu, dan permainan dapat diakses melalui satu device, smartphone. Tidak berhenti dari situ, konsep society 5.0 menawarkan kehidupan yang jauh lebih memudahkan.
Produk yang ditawarkan society 5.0, pemanfaatan artificial intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan robot, dapat membuat segala aktivitas manusia menjadi lebih mudah. Pengiriman barang menggunakan drone camera, sehingga hambatan jalan rusak, jalan terjal, dan macet dapat teratasi. Bus umum dan mobil pribadi menggunakan pengendara otomatis, hal ini dapat mengatasi human error ketika berkendara.
Traktor otomatis. Petani bisa beristirahat untuk menggarap sawah dengan alat ini. Speaker cerdas otomatis. Speaker ini dapat menjadi teman diskusi untuk merekomendasikan berbagai hal pada manusia. Dan masih banyak lagi.
Berdasarkan dampak-dampak positif di atas, rasanya manusia masa depan yang diimpikan melalui society 5.0 cukup pantas dinantikan oleh banyak manusia. Namun pertanyaannya, apakah kehidupan yang seperti ini berdampak positif bagi nilai-nilai kearifan lokal dan budaya bangsa. Seperti, gotong royong, persatuan, dan rela berkorban.
Totalitarianisme Teknologi dan Degradasi Budaya Bangsa
Society 5.0 memiliki visi untuk menjadikan teknologi bukan hanya sekadar alat manusia untuk mencapai tujuannya, namun telah menjadi bagian dari manusia. Dengan begitu manusia membutuhkan teknologi (AI, IoT, dan robot) untuk hidup sebagai “manusia” di masa depan. Sekilas, ini terlihat menyenangkan.
Namun, jika kita renungkan, ada ketakutan besar, manusia dapat tergantung dan tak berdaya tanpa adanya teknologi. Tidak sedikit, film, animasi dan sejenisnya mengangkat tema musnahnya manusia modern dan kembalinya era purba. Hal ini untuk mengingatkan, bahaya akan masa depan yang serba canggih dan lunturnya budaya kebersamaan manusia.
Negara Indonesia perlu berhati-hati dalam melihat society 5.0 sebagai sebuah visi masa depan. Sebab, society 5.0 adalah era totalitarianisme teknologi. Maksudnya adalah teknologi menguasai dan mengontrol segala sendi-sendi kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Istilah awal totalitarianisme biasa digunakan oleh pengamat politik untuk menyebut bentuk pemerintahan yang mengatur dan mengontrol warganya secara total.
Namun, saya kira totalitarianisme teknologi ini sangat mungkin terjadi. Bayangkan saja, hari ini sebagian besar manusia tidak bisa lepas dari smartphone. Komunikasi dan akses informasi yang mudah telah menjadi kebutuhan manusia. Maka bukan tidak mungkin, di masa depan, robot akan menjadi kebutuhan yang tidak bisa dilepas oleh manusia.
Alhasil, kebudayaan warga Indonesia terancam dengan hadirnya totalitarianisme teknologi ini. Kita terancam akan kehilangan ciri khas kita sebagai warga Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong, persatuan, kebersamaan, dan rela berkorban. Hadirnya robot sangat memungkinkan manusia tidak membutuhkan manusia lainnya lagi untuk melakukan pekerjaan berat dan ringan. Robot seakan-akan telah menjadi sosok pengganti manusia lainnya.
Bahkan pada robot yang membantu, kita tidak perlu lagi mengucapkan “tolong”, “terima kasih”, dan “maaf”. Sebab, kita menganggap bantuan robot adalah kewajibannya dan alasannya diciptakan. Tentu saja, hal ini bukan masalah bagi robot. Namun, hal ini bisa menjadi masalah sosial dan emosional bagi manusia.
Pada posisi ini, warga Indonesia sebagai manusia dapat kehilangan jiwa sosial dan kemanusiaanya untuk bergotong royong dengan manusia lain. Alasan untuk bersatu, mungkin hanya sebatas formalitas saja. Sebab jiwa kebersamaanya telah terdegradasi oleh ketergantungan pada teknologi. Totalitarianisme teknologi menyebabkan hilangnya rasa simpati dan empati, sehingga akan sangat sulit untuk menolong, apalagi rela berkorban untuk orang lain.
Kepercayaan akan manusia lain sangat dimungkinkan beralih pada robot yang super cerdas. Karena, robot memiliki big data dan dapat menganalisis dengan baik untuk merekomendasikan sesuatu dan menjadi teman yang baik bagi manusia. Robot bisa menggantikan posisi manusia lain bagi seseorang. Kemudian apakah kita sudah siap menghadapi totalitarianisme teknologi ini? Saya kira jawabannya perlu kita cari bersama dan terapkan mulai dari tingkat lokal hingga nasional.
Penulis: Sudju